T-SoM Angkatan 2 – Keuskupan Agung Palembang

Vania Ruth Dumaria Siregar

Memulai Sesuatu Bukanlah Hal yang Mudah

Sebentar lagi, masa jabatanku sebagai T-Som aktif angkatan ke-2 bersama teman-teman lainnya akan segera selesai. Meski demikian, tugas panggilan kita semua untuk bermisi dan menyebarkan kabar gembira tidak memiliki batas pensiun atau kadaluarsa. Melihat kembali ke belakang, aku sangat bersyukur boleh diberikan kesempatan untuk mengikuti T-SOM. Melalui T-Som aku memperoleh banyak teman baru yang baik dari tiap keuskupan besar di Indonesia, aku juga memperoleh banyak kesempatan untuk melakukan karya misioner, dan yang terpenting adalah aku mendapatkan pengalaman-pengalaman berarti yang mendekatkan diriku dengan Bapa dan sesama. Dari sekian banyaknya hal yang kualami, ada satu pengalaman yang begitu berkesan di dalam hatiku. Pengalaman itu tidak lain ketika aku pertama kali mendapat tugas bermisi untuk memulai masa bakti T-Som angkatan ke-2 bersama teman-teman di Palembang untuk memperingati Hari Orang Sakit Sedunia.
Kala itu, aku dan teman-temanku masih sangat baru di dalam T-SOM, anggap saja seperti kue hangat baru keluar dari oven. Kami masih begitu antusias dan bersemangat untuk memulai tugas misionaris kami, akan tetapi ada yang menjadi tantangan besar untuk diriku sendiri. Waktu itu, kami diminta untuk menjenguk mereka yang sedang dalam kondisi sakit bersama-sama, untuk menanyakan kabar, mendoakan, juga menghibur. Mungkin itu bisa dianggap tugas yang sederhana, tetapi sebagai seorang T-Som yang baru ‘menetas’, kala itu saya merasa sangat gelisah. Baru kali ini saya menjenguk orang sakit tanpa bimbingan orang dewasa, hanya aku dan teman-temanku. Aku khawatir bagaimana cara membangun suasana supaya orang yang kami jenguk dapat terhibur dan dikelilingi aura yang positif. Aku takut kalau tidak pandai bicara atau menyusun doa. Kebetulan saat itu orang yang kami jenguk adalah guruku sendiri. Namun, sekian kekhawatiran itu kemudian perlahan menghilang ketika aku benar-benar mengeksekusi tugas misi yang diberikan. Secara natural obrolan mulai tercipta, memberikan kesan yang hangat di ruangan tempat guruku terbaring. Terkadang keadaan bisa agak canggung, tetapi saya terus berusaha mencerahkannya lagi. Bahkan kami juga sempat bercanda dan tertawa bersama. Tak lupa, kami juga menyampaikan rasa hormat dan rindu kami kepadanya karena sudah lama tidak aktif mengajar semenjak terjatuh sakit. Melihat beliau yang terus tersenyum dan bersemangat, membuat seluruh kegelisahanku hilang. Alhasil, tugas misi pertamaku berjalan lancar, dan tujuan kami juga terwujud dengan baik.
Guruku yang sakit dan terbaring, terlihat begitu senang dan penuh semangat ketika kami datang menjenguk ke rumahnya. Ia percaya bahwa ia akan segera sembuh dan sehat kembali, ia siap untuk bangkit lagi kapan saja. Sisi antusiasnya ini menyadarkan aku sebagai seorang pribadi, bahwa aku belum lebih baik dari guruku tersebut. Orang yang sakit sepertinya saja memiliki banyak keberanian dan pantang menyerah, dan harapan mereka begitu tinggi, sedangkan aku yang sehat-sehat ini memiliki banyak kegelisahan dan kekhawatiran.
Dari peristiwa itu, aku memperoleh definisi baru dari ‘orang sakit’, yaitu bukan hanya mereka yang lemah secara jasmani saja. Bukan guruku, justru rasanya adalah aku yang ‘sakit’, karena pikiranku yang penuh kegelisahan membuat diriku sendiri kurang percaya diri dan sempat merasa takut untuk dapat bermisi. Dari peristiwa ini, aku belajar untuk selalu siap memanfaatkan potensi diriku sepenuhnya bagi sesama. Meskipun itu normal untuk merasa khawatir dengan segala keterbatasan yang aku miliki sebagai seorang misionaris, aku harus selalu bersikap berani dan pantang menyerah. Yang terpenting adalah tetap bersukacita dan melihat titik terang dari segala kondisi, meyakini bahwa Tuhan Yesus selalu besertaku.
Melalui pengalamanku ini, aku merasakan bahwa Tuhan berusaha memberitahukan ku sesuatu. Mungkin kala itu, aku belum benar-benar mewujudkan diriku yang keluar dari zona nyaman, sehingga Tuhan berusaha mendorongku untuk keluar melalui tugas misi pertamaku ini. Aku harus lebih mengandalkan Tuhan daripada diriku sendiri, karena kekuatanku bersumber daripada-Nya. Ketika aku merasa khawatir, Tuhan dapat menenangkan aku dengan cara-caranya yang indah. Baik itu melalui doa, atau perilaku dari orang-orang di sekitarku. Aku merasa Tuhan ingin aku untuk menjadi lebih yakin terhadap diri sendiri, dan percaya bahwa aku dipilih untuk menjadi utusan-Nya karena diriku spesial. Meski dengan segala keterbatasanku, Ia tetap begitu mencintaiku dan Ia melihat sesuatu dalam diriku yang belum tentu dapat dilihat orang lain bahkan diriku sendiri. Aku harus percaya dan selalu bersyukur bahwa Ia selalu ada menuntun dan menemaniku dalam karya-karya yang kulakukan.
Ada suatu ayat indah yang sangat kusukai dalam kitab suci yang berhubungan dengan pengalamanku ini. “Datanglah kepadaku, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat, dan aku akan memberikan kelegaan kepadamu” diambil dari Matius 11:28. Aku selalu mengingat ayat itu setiap aku merasa cemas ataupun sedih. Kata-katanya begitu hangat, layaknya seorang bapak yang selalu siap memeluk anak-anaknya dengan penuh cinta. Meski jabatan T-SOM ku akan segera selesai, saya akan terus berusaha menghidupi panggilan bermisi tanpa keraguan dan dengan semangat misioner yang terus awet, seperti kakak-kakak T-SOM angkatan sebelumnya yang masih terus aktif sampai sekarang.
.
————————————–
.

Jonathan Fortino Chandra

Evolusi Iman

Perubahan adalah hal yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dalam kehidupan ini butuh sekali yang namanya perubahan. Akan timbul rasa takut dan gelisah saat menghadapi suatu tantangan baru, itulah salah satu resiko saat kita telah berani untuk mengambil dan merasakan perubahan dalam hidup kita masing-masing. Tentunya ada hal negative yang ditimbulkan dalam proses perubahan itu, dengan arti lain kita gagal dalam hal beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru dengan tanggungjawab yang semakin hari semakin berat. Perubahan inilah yang dinamakan evolusi.
Perkenalkan saya salah seorang peserta T-SOM (Teens School of Mission) Nasional, kami merupakan kumpulan anak-anak yang mau untuk bermisi. Saya sendiri telah merasakan manis pahitnya T-SOM ini selama kurang lebih satu tahun. Selama saya berproses di dalam T-SOM, saya mendapatkan banyak perubahan di dalam hidup saya, yang dulunya saya tidak mau berkorban dan membuang waktu saya untuk menolong dan melayani orang lain, selalu menganggap bahwa hal tersebut tidak ada gunanya. Tanpa saya sadari setelah banyak mendapatkan ajaran dan masukan dari romo; suster; kakak pembina; serta teman-teman, saya merasakan banyak hal yang berubah dalam hidup saya. Seperti layaknya anak SMA, pada umumnya saya hanya fokus dengan sekolah seperti mengerjakan tugas dan pekerjaan-pekerjaan rumah yang menumpuk, perasaan saya saat itu sangat bosan dan lelah dengan rutinitas itu-itu saja, saya seperti merasakan ada yang kurang dalam hidup saya.
Setelah beberapa bulan saya lewati, saya mencoba untuk pelayanan di dalam gereja saya, awalnya saya ikut dalam organisasi multimedia dalam suatu paroki di Keusukupan Agung Palembang. Setelah beberapa bulan saya merasa timbul rasa rindu yang telah lama saya cari, ketenangan dan kedamaian timbul begitu saja. Setelah lama waktu berlalu saya juga menyadari bahwa salah satu tugas gereja yaitu mewartakan kabar sukacita injil, saya coba ikut dalam lektor gereja, setiap kali saya bertugas dan membaca setiap ayat yang penuh makna, itu membuat saya semakin tenang dan mengetahui maksud Allah kepada kita manusia ciptaan-Nya. Hal-hal sederhana itulah yang membantu saya menemukan rasa yang hilang itu.
Perubahan awal yang saya alami yang sangat terasa ialah tentunya rasa lelah dan muak dengan tanggungjawab yang semakin banyak, saya kadang-kadang ingin melepas tanggungjawab yang telah dipercayakan kepada saya. Tetapi saya sendiri mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang-orang sekitar saya, saya selalu berdoa agar saya dikuatkan oleh roh kudus. “semakin kita bertumbuh, kita akan semakin mendapat tantangan baru, tantangan itulah yang membuat kita naik level, sehingga bila kita gagal bertahan, kita tidak akan naik level itu.” Itulah kata-kata yang saya dengar saat sedang merasa lelah, itu membuat saya semakin kuat, saya berani menyelesaikan tugas-tugas saya dengan tuntas.
Saya percaya bahwa Tuhan berpesan kepada saya sendiri lewat orang-orang terdekat saya, Tuhan selalu menguatkan kita lewat rahmat karunia-Nya yang mahamurah. Kepercayaan itulah yang harus kita tumbuhkan dalam kehidupan kita, agar kehidupan kita dapat kita jalankan dengan penuh harapan dan ketenangan dalam menghadapi masalah-masalah.
Terdapat satu ayat kitab suci yang dapat menguatkan pribadi saya sendiri. Filipi 4:13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang member kekuatan kepadaku.”  Kepada umat di Filipi, Rasul Paulus mengajarkan agar menyerahkan semua perkara kepad Tuhan. Biarkanlah dengan kekuatan Yang Maha Besar, Tuhan menyelesaikan perkara kita.
.
———————————
.

Jonathan Felix

Kesempurnaan

Jadi saya itu terkadang menonton beberapa film drama korea ataupun drama china, dan dari situ saya melihat beberapa aktor dan aktris yang goodlooking. Saya pun bertanya tanya kok bisa mereka mencapai keadaan yang membuat orang lain ingin menjadi seperti mereka juga, kulit putih dan mulus seperti susu, akhlak yang baik, dan lain lain. Saya yang saat itu sempat insecure mulai coba mencari cara agar bisa terlihat seperti mereka. Mulai dari mengurangi makan yang tidak sehat, makan banyak sayur, olahraga, dan saya sempat melakukannya dalam 1 bulan penuh. Kemudian selang beberapa saat, hal menarik terjadi saat saya menggantikan tante saya bertugas lektor di Gereja. Waktu itu saat saya bertugas semuanya berjalan seperti biasa, sampai saat saya ingin pulang dari gereja, saya sempat mendengar obrolan beberapa orang tua yang membicarakan tentang kehidupan masa tua mereka, itu memang bukanlah suatu obrolan yang sangat bermanfaat namun obrolan mereka itu terkesan sangat santai dan menghangatkan hati, mereka mengobrol tentang anak cucu sambil tertawa sana sini.
Kemudian saya tiba tiba teringat dengan obsesi saya yang ingin menjadi seperti aktor aktris tersebut, saya pun berpikir betapa bahagianya mereka mengobrol seperti itu dengan apa adanya. Mulai dari situ, saya kembali mencoba melakukan aktivitas dengan biasa kembali dan berusaha untuk tidak terlalu “terobsesi” dengan kesempurnaan. Mungkin saya saat itu hanya berpikir tentang look nya mereka dan tidak memikirkan hal lain yang mereka alami saat memiliki wajah seperti itu, contohnya seperti menghadapi para fans, banyak kerjaan, hidupnya penuh dengan aturan, dan lain lain. Lalu, membandingkannya dengan orang tua yang mengobrol dengan santai tersebut mungkin saya akan memilih mengobrol santai dengan teman saya saat hari tua nanti dan tertawa bersama sama. Sejak saat itu, saya hanya ingin menjalani kehidupan dengan apa adanya dan dengan apa yang Tuhan kehendaki, dan tentang “obsesi” sesaat itu hanya saya jadikan referensi sederhana saja.
Memang bukanlah masalah untuk mereka yang mengejar kesempurnaan dan ingin menjadi seperti aktor aktris di kebanyakan film, hanya saja terkadang rencana yang kita siapkan itu tidak bisa dibandingkan dengan rencana yang telah Tuhan siapkan untuk kita kedepannya. Di saat rencana kita tidak berhasil, jangan hanya menyalahkan Tuhan atas rencana kita yang gagal. Coba ambil sisi positifnya, jangan hanya mengambil sisi negatifnya saja seperti kita bisa mendapatkan pengalaman pemgalaman baru dengan beberapa rencana kita yang gagal tersebut dan mencoba untuk merencanakan hal hal yang lain lagi kedepannya. Lalu kita pun makin belajar banyak hal dari pengalaman pengalaman yang telah berlalu.
Juga, tidak selalu semua yang santai dan menyenangkan itu didapatkan semudah itu, mungkin dibalik hari tua mereka yang tersenyum dan tertawa bersama, masa muda mereka melalui banyak hal mulai suka duka, mungkin juga mereka sudah merasakan kegagalan dalam rencana rencana mereka. Oleh karena itu mungkin semua hal itu butuh usaha dan ketekunannya masing masing namun, satu hal yang perlu kita lakukan jika kita terpuruk dan gagal dalam rencana rencana kita adalah berdoa, berdoa adalah perantaraan kita kepada Tuhan, dengan berdoa mungkin kita bisa menemukan rencana baru, mungkin dengan berdoa kita bisa menyadari kalau rencana yang kita rencanakan itu kurang tepat. Tidak semua hal dapat berjalan mulus dan sesuai kehendak kita sendiri jadi jalan yang terbaik adalah meminta petunjuk kepada Tuhan agar kita tidak menyimpang dari rencana yang telah Ia siapkan.
Tuhan bisa saja ingin menyampaikan pesan melalui beberapa peristiwa peristiwa yang kita alami. Pada peristiwa yang saya alami kali ini mungkin Tuhan ingin menyampaikan bahwa janganlah terlalu “terobsesi” pada hal duniawi karena setiap hal duniawi tidak akan kita bawa saat kita mati nanti, melainkan cobalah untuk menikmati apapun pemberian dari Tuhan meskipun pemberian itu terkesan kurang, janganlah membandingkannya dengan pemberian Tuhan kepada orang lain karena Tuhan memiliki rencana yang berbeda pada setiap pribadi dan rencana Tuhan pada kita mungkin terkesan kurang pada awalnya, dan mungkin rencana orang lain terkesan lebih wow, tetapi pada dasarnya Tuhan itu menciptakan setiap pribadi itu unik dan berbeda beda, oleh karena itu walaupun rencana Tuhan pada kita terkesan kurang pada awalnya, namun cobalah untuk menjalaninya dengan sepenuh hati karena rencana Tuhan itu akan selalu indah pada akhirnya.
Saya ingin mengambil kutipan dari kitab suci, dar Yakobus 1: 2–4 yang berbunyi: “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh kedalam berbagau pencobaan-pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
.
———————————–
.

Maria Dini Ayu

Salib; Rencana Tuhan > Rencana Kita

Kalau saya tidak salah ingat, benarlah kejadian ini terjadi pada tahun 2020 tepatnya bulan Februari. Dalam rangka HOSS (Hari Orang Sakit Sedunia) saya dan beberapa rekan TSOM Palembang mengunjungi beberapa orang sakit. Namun kunjungan yang paling berkesan yaitu saat kami bertandang ke rumah guru saya. Beliau sakit saat itu dan saya kurang tahu apa penyebabnya.
Beliau mengampu mata pelajaran olahraga, dan cukup sedih rasanya saat mengetahui beliau tidak dapat berjalan saat itu. Beliau adalah guru yang tegas, dan jujur saja saya sering mengeluh saat pelajarannya. Melihat beliau terbaring, padahal biasanya sangat aktif bergerak, saya merasa bersalah karena sering mengeluh saat beliau mengajar. Kedatangan saya dan rekan disambut baik oleh beliau dan keluarga, beliau berkata merindukan murid-muridnya dan ingin lekas sembuh. Istrinya berkata bahwa beliau tengah rajin berlatih menggunakan kursi roda. Sungguh patut diacungi jempol akan semangatnya untuk sembuh. Sepanjang obrolan, beliau tak henti-hentinya tersenyum, tidak seperti orang yang tengah sakit; tidak mengeluh sedikitpun padahal beliau tak dapat menggerakkan kaki. Tak hanya itu, beliau juga menyemangati kami yang akan menghadapi ujian akhir (saat itu saya dan beberapa teman duduk di bangku kelas 9). Saat kami hendak pulang, beliau meminta kami untuk menyampaikan salamnya kepada guru-guru dan teman-teman kami di sekolah. Setelahnya, kami pulang dan itulah akhir dari kunjungan kami.
Dari beliau, saya melihat ketabahan, kesabaran, dan tetap tersenyum meski dilanda suatu yang menyulitkan. Meski sulit dilakukan, dan memang sangat sangat sulit, tapi salib tetap harus dipikul. Beliau tidak menganggap penyakit sebagai bagian dari kemalangan, dan saya sangat ingin mencontoh sikapnya itu. Ketika mengetik refleksi ini, saya menyadari bahwa saya masihlah seorang manusia yang terbilang sering mengeluh, sangat kontras dari guru saya yang bisa menerima kondisinya.
Kemudian, saya ingin mengutip kembali homili Romo yang beberapa menit lalu saya intip dari refleksi HOSS 2 tahun lalu:
“Hidup itu adalah belajar untuk ikhlas walau tidak rela; belajar bersyukur meski tidak punya apa-apa; dan belajar untuk merasa sembuh meskipun luka-luka. Dengan iman, kita percaya bahwa salib kehidupan ini disertai dengan pengharapan akan kebangkitan.”
Rencana-Nya jauh lebih besar daripada rancangan kita. Meski hanya bermodalkan kepercayaan dan pengharapan kepada Allah, kita bisa menjadi lebih kuat.
“Karena masa depan akan ada dan harapanmu tidak akan hilang” – Amsal 23:18.

Tinggalkan komentar