Anastasia Nadine Priscilla
Peserta TSOM#3 – Keuskupan Agung Medan
KITALAH BINTANG MISIONER YANG TERLIBAT DAN MENJADI BERKAT
Aku seorang anak tunggal, yang pada saat itu terlalu sibuk dengan belajar, les dan lainnya sampai terkadang aku lupa akan Tuhan. TSoM 3 menjadi wadahku berkembang secara rohani. Saat pertama aku dikatakan sebagai pilihan untuk mengikuti kegiatan TSoM aku merasa takut. “ Aku tidak seaktif yang lain, aku tidak sepintar mereka, aku tidak secantik mereka, bisa kah aku dihargai disana? Bisa gak ya aku menjadi diriku sendiri di kegiatan ini?”. Itu semua adalah hal hal yang ada di kepala ku pertama kali. Awalnya aku ingin mundur, tetapi kembali aku bertanya pada diriku sendiri “Ini adalah anugerah dari Tuhan, apakah aku sanggup menolak nya?”. Aku ingat ada terdapat pada injil 1 Samuel dimana Samuel dipanggil Tuhan dan Samuel berkata “Bersabda lah ya Tuhan, hamba Mu mendengarkan”. Dan akhirnya aku memutuskan untuk bertekad bulat. Aku dipilih, aku siap dan aku bisa. Akhirnya aku paham bahwa menjadi seorang misioner itu harus berani mengambil resiko dengan tujuan kita untuk Tuhan. Menjadi pengikut Tuhan itu harus dibarengi dengan aksi bukan sekedar percaya dan kata kata saja.
Pertama kali di saat pertemuan di Surabaya Friendship, aku bertekad pada diriku untuk menutup diri dari mereka. Aku tidak menjadi diriku sendiri, aku tidak percaya diri. Tetapi materi saat itu mengajarkan aku untuk mengenal diriku sendiri dan bangga pada diriku. Aku tersadar, aku sudah berbohong pada diriku sendiri, itu bukan aku dan ya akhirnya aku memilih mencoba menjadi aku apa adanya. Aku diajarkan untuk mengenal diriku sendiri, barang apa ya kira kira yang dapat menggambarkan diriku?. Aku memilih lilin bernyala. Kenapa? Menurutku lilin bernyala itu memiliki banyak sekali rahasia. Dia bisa menjadi penerang kita disaat kegelapan tapi ketika sudah tidak terkontrol bisa menjadi musuh kita. Aku pun seperti itu, terkadang aku bisa menjadi penolong tetapi ketika orang lain sudah salah memperlakukan aku, aku bisa menjadi sebuah api yang dapat menghanguskan hal hal disekelilingku.
Surabaya Friendship selesai, kami kembali dengan menjadi diri sendiri dan tentunya sudah menjadi teman seperjuangan dengan anak TSoM lainnya. Keuskupan Agung Medan membuat pertemuan melalui zoom, hal tersebut dikarenakan jarak rumah kami yang saling berjauhan. Tapi itu bukan halangan untuk kami, kami memiliki semangat bermisi dalam diri kami masing-masing. Kami dipersiapkan untuk pertemuan selanjutnya bersama dengan anak anak JAMNAS 2023. Zoom setiap minggu untuk melayakkan diri sudah menjadi rutinitas kami.
Muntilan Prayer adalah pertemuan kedua kami. Aku diantar ke bandara oleh Papa & Mama ku, tapi tidak tau kenapa pertemuan kali ini terasa sangat berat, perasaan ku tidak karuan. Ternyata benar, keesokan hari nya, aku mendapat kabar dari rumah kabar yang tak pernah kuharapkan. Papaku, dia drop dan mengalami suatu penyakit yang membuat dia tak sadarkan diri dan dinyatakan koma. Aku tak sanggup, sempat berpikir untuk berhenti dan pulang untuk melihat papa. Tapi kata kata mama menghentikan pikiranku “ Nak, kesempatan tidak datang 2 kali, jika kamu pulang itu tidak akan mengubah apapun. Disini ada dokter yang akan merawat papa, kamu lanjut lah disana dengan misi mu. Minta doa mereka ya nak, doakan papa disana. Mama tau kamu bisa, kamu kuat, banyak yang jaga papa disini. Semangat ya sayang, lanjutkan misi mu”.Dan kejadian itu membuat pikiran ku berubah drastis. Awalnya aku ingin tidak terlalu terbuka dengan mereka, tapi aku melihat bagaimana mereka merangkul ku. Pertemuan ke 2 adalah saat terberatku, aku sangat terpuruk, aku redup. Tapi TSoM merangkulku, mereka membantuku untuk berdiri, mereka kembali mencoba menyalakan cahaya dalam diriku. Aku masih ingat bagaimana mereka mendoakan papaku, bagaimana mereka memelukku saat aku butuh sandaran. Kami memiliki suatu kegiatan yaitu mengunjungi Museum Misi Muntilan. Aku tertegun melihat bagaimana perjuangan R.P Frans Van lith dalam misi nya. Dan juga Romo Sandjaja atau Romo Sanjaya yang membuatku sangat terinspirasi, bagaimana ia mengorbankan dirinya dan menjadi martir pertama di pulau Jawa. Dan saat kami [ergi ke Sendangsono, disana aku berdoa dan menyesal untuk segala dosa dosaku. Aku memandang Bunda Maria dan tanpa kusadari air mata ku menetes dengan derasnya, aku merasa tenang. Seakan Bunda Maria sedang berkata kepadaku “ Putriku aku tau saat ini berat bagimu, kamu kuat jadi bertahan lah, PutraKu Yesus akan menyertai langkahmu, jangan risau percayalah.” Dan tidak sampai disitu kegiatan JAMNAS sudah di depan mata, aku takut aku tidak bisa dan menyerah tapi Tuhan selalu kasih aku penguatan disitu. Selama kegiatan JAMNAS aku mencoba tetap ceria seperti aku biasanya. Aku tak ingin orang melihat sisi lemah ku, hari – hari yang kujalani tentu nya berat tetapi aku ditemani oleh angelus, pendamping dan teman teman yang luar biasa. Mba Naura, Mba Lusia, Kak Yustin dan teman ku Golda yang selalu menjadi sumber gelak tawa ku di hari hari ku. Dan ga lupa Tegar atau biasa yang akrab ku panggil Ega dan Bryan . Mereka teman ku di TSoM yang selalu hadir disaat aku butuh seseorang untuk jadi tempat cerita, tempat aku melepas tangis dan orang yang selalu mendukung dan melindungi ku semampu mereka. Satu hal yang kusyukuri di tahun ini itu ketemu dan kenal mereka mereka yang hebat. Mereka pun selalu menjadi tempatku bercerita, saat aku ketakutan mereka meyakinkan ku. Bahkan saat JAMNAS, aku berhasil mendapatkan salib kecil dari Mgr. Antonius Subianto Bunjamin. Aku pun mendapatkan kesempatan untuk bersharing sedikit sedikit di podcast dan itu adalah hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kalian tau? Aku menemukan keluarga kedua ku di mereka, mereka mau menerima disaat suka dan duka ku. Waktu tak terasa, pagi muli menjadi malam dan hari hari telah kulewati bersama mereka. Rasa sayang terhadap mereka mulai tumbuh, kami ini keluarga dalam cinta Yesus. Dari Sabang sampai Merauke disatukan dalam gereja, menjadi sebuah keluarga yang saling menopang satu dengan yang lain. Perpisahan pun tak terelak kan lagi, sudah saatnya kami berpisah setelah melalui hari hari hebat bersama mereka. Tentu saja ada air mata yang terjatuh tetapi itu air mata penuh syukur. Penuh syukur karena bisa bertemu dan mengenal mereka dan tentunya merasakan cinta Tuhan melalui mereka dan dengan cara mereka masing masing. Pada saat aku pulang dan sampai di bandara disitulah iman ku goyah, kali ini aku tidak melihat papa dan mama menjemputku, hanya abang seorang diri dan setelah itu aku harus langsung melihat papa di rumah sakit. Hatiku memberontak “Apa ini Tuhan? Aku sudah menjawab panggilan-Mu tapi kenapa aku harus mengalami ini? Ini tidak adil Tuhan, aku tak bisa jika tanpa papa.”. Tuhan menjawabku melalui mimpi. Di mimpi tersebut aku melihat seorang R.P Frans Van Lith yang aku liat di Museum Misi Muntilan saat kegiatan kemarin. Aku lihat bagaimana dia berjuang menjadi seorang misionaris. Dan aku mengingat kembali bagaimana Bunda Maria meneguhkan hatiku saat di Sendangsono. Pada saat papa meninggalkan aku untuk selamanya, pendampingku datang memelukku, dia khawatir akan tekad ku dalam bermisi tapi satu hal yang kukatakan “ Kak, aku tidak akan mundur. Setiap usaha pasti ada cobaan nya, dan ini adalah cobaan ku kak. Walaupun sayapku dipatahkan oleh kejadian ini, tetapi aku tidak akan berhenti dan menyerah. Ini adalah cobaanku untuk mendapatkan sayap yang lebih indah dan kokoh. Bak burung elang ia harus mengalami sakit yang amat sangat terlebih dulu tapi sakit tersebut yang membuat dia hidup.” Masa masa berat tersebut aku juga di temani oleh teman teman ku, mereka selalu menyemangatiku. Bahkan melalui kak Yustin aku dikirimkan video penyemangat oleh Mgr. Robertus Rubiyatmoko. Hal tersebut membantuku untuk membenahi diriku dari keterpurukan ku. Dan papa mendapatkan doa dari animator ku di JAMNAS yang juga sudah seperti sahabatku yaitu Kak Benediktus dari Keuskupan Bandung.
Makassar Action aku sudah berdamai pada diriku sendiri, aku sudah bisa menerima kalau aku harus menjadi seorang misionaris yang cerdas, tangguh, gembira, dan misioner. Di makassar aku diajarkan tentang ajaran sosial gereja. Disana aku melihat bagaimana beda nya kehidupan dan pemikiran lingkungan hidup mereka dengan lingkungan ku. Aku bekerja di Rumah Makan Dapur Dionza dan mencoba hal yang masih asing untukku. Membuat kapurung untuk pelanggan, berjualan. Lelah dan penat tetapi hal tersebut membuatku menjadi semakin peka dan peduli terhadap sesama. Dan disana juga aku merasakan bagaimana sulitnya bekerja dan menghasilkan seribu rupiah. “ Ternyata seperti ini sulitnya mendapatkan seribu rupiah ya”. Setelah hal tersebut aku lebih menghargai suatu hal yang dulu aku anggap remeh. Disitu aku punya satu quotes “Jadikan lah kehadiranmu menjadi berkat dan hal yang disyukuri orang lain”. Sebentar lagi kami berpisah, sisa 1 pertemuan lagi TSoM 3 sudah selesai. Senja nya tak abadi tapi janji akan kembali, sinar bulan yang menjadi saksi bak menceritakan hari yang indah ini. Kupandangi deru ombak yang membuatku tenggelam dalam anganku sendiri “bisakah waktu ini terhenti? Aku ingin menikmatinya sedetik lagi. Syukurku pun tak tertahan lagi bagaimana ciptaan Tuhan sangat membuatku terdiam.
Dan terakhir Mentawai Pilgrimage. Aku ragu. Bisakah aku? Mampukah aku?. Aku takut, takut membuat mereka kecewa. Tapi semua itu seketika menghilang seperti terbawa pergi oleh ombak laut Mentawai. Aku yakin, aku bisa, aku kesini untuk bermisi apapun akan kuterima, ini pilihan ku dan mari bermisi dengan sukacita, papa bantu aku dengan doa mu, anak semata wayang mu sudah sampai di Mentawai untuk bermisi hal yang tak pernah terpikir dahulu. Ayo Nadine kamu bisa, misi mu ada disini. Di Mentawai, aku hidup tanpa jaringan, aku hidup dengan meninggalkan kebiasaanku di kota, aku menarik diri dari hiruk pikuk kota dan berbaur dengan kehidupan di Mentawai. Di Mentawai aku belajar banyak hal, dan aku mendapatkan keluarga ku disini. Aku menjadi anak dari Papa Lauren Sakkulo, papa Lauren adalah seseorang yang hebat. Beliau mirip seperti papaku, cara beliau berpikir, bagaimana beliau mendidik dan bagaimana cinta nya kepada keluarga nya yang terlihat jelas di mata nya. Aku menemukan sosok yang kurindukan disini. Mentawai mengikatku walau ini masih seperti mimpi, tapi aku sangat bersyukur bisa sampai disini. Kami yang disambut dan senyum senyum yang kami lihat membuat aku terharu. Hangat satu kata yang bisa aku sampaikan ketika aku pertama kali menginjakkan kaki. Hari-hari yang kami habiskan di stasi Rogdog, menjadi kisah, pengalaman dan kenangan yang tak akan kulupakan. Kami ditemani oleh orang orang baik dan selalu siap siaga yaitu Kak Filip, Kak Joya, dan Kak Boni mereka selalu sabar menjawab semua pertanyaan kami. Sedikit tantangan itu adalah perbedaan bahasa, dan ya itu bukan alasan untuk tidak bermisi bukan? Kami mulai memahami sedikit sedikit, aku mencoba dengan doa umat dalam bahasa Mentawai. Aku tau pastinya pengucapan ku banyak yang kurang tepat tetapi apresiasi mereka membuatku merasa tertegun. Natal ceria sesuai dengan namanya kami nikmati semua dengan ceria. Cinta kasih yang aku dapatkan selama bermisi di Mentawai membuat ku merasa sangat berharga.
Waktu tak terasa, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kami sudah bersama menabung asa disini. Sekarang saat nya pergi untuk bermisi masing-masing. Senyum merekah disini, tetapi air mata pun dengan sigapnya terjatuh, semua enggan untuk berpisah, ini seperti mimpi. Saat kami berada di pantai Masilok, aku menikmati harsa dibawah luasnya bumantara dengan desiran pawana sagara. Perpisahan yang semakin dekat, kami meminta pada waktu untuk tak cepat menghampiri. Langit yang luas saja bisa merasakan sedihnya perpisahan tersebut, kami meneteskan air mata dengan deras seperti hujan lebat. Ada banyak kenangan di sini, langit dan semua alam menjadi saksi hebatnya kita. Kisah singkat kita adalah memori yang abadi dan tak terlupa.
TSoM bukan sekedar program belaka, TSoM itu keluarga. Mereka mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika orang meragukan aku mereka akan mendorongku. Ketika orang berkata Apa untung nya mengikuti kegiatan itu? Aku akan jawab semua hal yang kujalani disini membuatku beruntung. Beruntung bisa bertemu dan merasa dicintai banyak orang, beruntung bisa menjawab panggilan ku dan beruntung bisa menjadi seorang misioner. Semboyan Children Helping Children juga bukan sekedar semboyan saja tetapi menjadi pegangan hidup dengan semangat 2d2k, misi itu akan terjalani dengan sukacita. Perubahan yang aku rasakan setelah bergabung dengan keluarga Teens School of Mission itu sangat banyak tetapi tentunya berproses. Aku jadi lebih semangat dalam menjalani hari hariku, tak mudah putus asa dan mau bangkit dari keterpurukan. Aku berani masuk ke dalam dunia yang sama sekali asing dan berbanding terbalik dari dunia yang biasa kujalani. Aku menjadi orang yang lebih dewasa dari sebelumnya. Aku sudah tak takut akan resiko resiko dari setiap keputusan yang aku buat dan aku sudah tidak lagi mengabaikan panggilan Tuhan dalam diriku. Dari pertemuan ini aku sadar Tuhan mengajarkan ku untuk menjadi seseorang yang lebih kuat, untuk menjadi seorang misionaris yang sejati dan selalu mengandal kan Tuhan di setiap hembusan nafas ku. Aku harap aku bisa bertemu lagi dengan mereka, orang orang yang hebat yang selalu mendukung ku. Dan aku juga berharap aku bisa seperti mereka. Aku harap diriku bisa menjadi bintang misioner yang terlibat dan menjadi berkat untuk orang disekelilingku. Menjadi cahaya untuk mereka yang membutuhkan bantuan, dan menjadi garam untuk mereka yang masih merasa hampa akan iman mereka sendiri. Semangat kasih Kristus yang membantuku, yang menjadikan ku seperti saat ini. Aku memang tidak sempurna tapi aku akan lakukan yang terbaik dalam nama Tuhan Yesus. “Hidupku, karyaku, memuliakan Tuhan”.
“Berpikirlah positif, berbicaralah inspiratif dan bertindak lah produktif”. Dua hal yersebut akan menjadi pedoman dan pegangan hidupku untuk menjalani hari hari ku.
“ Langit menjadi saksi betapa bersyukurnya aku ada disini, ambil kesempatanmu dan yakinkan dirimu, buka lembaran baru dalam hidupmu jadilah bintang terlibat dan jadilah berkat untuk sesamamu ”