Refleksi

Johezkel Hans Denli Zalukhu

Peserta T-SoM#3 – KEUSKUPAN PADANG

Indahnya Bermisi Dengan Sahabat

Pada awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang apa itu T-SoM , apa itu bermisi. Saya mulai tahu tentang T-SoM saat jadi perwakilan sekolah untuk mengikuti test seleksi T-SoM. Awalnya saya tidak percaya kalau mengikuti T-SoM akan pergi ke luar daerah. Saya hanya penasaran akan test nya saja. Setelah seminggu menunggu informasi dari tim seleksi, saya menerima kabar kalau saya tidak lulus seleksi. Saya cukup sedih saat itu, namun seminggu kemudian saya dipanggil lagi untuk mengikuti test wawancara, karena ada anggota T-SoM yang mengundurkan diri.
Menerima kabar tersebut saya sangat gembira dan setelah mengikuti test saya akhirnya lulus dan kami 4 anggota T-SoM nasional melakukan persiapan untuk pernas pertama di Surabaya. Awalnya saya takut untuk berangkat, karena akan jauh dari orang tua dan juga takut bertemu dengan tim T-SoM dari keuskupan lain. Saat saya sampai di tempat pertemuan di Surabaya, saya sangat terkejut ternyata anak T-SoM yang lain sangat ramah. Itu benar benar di luar ekspetasi saya, saya berpikir kalau anak T-SoM itu anaknya pendiam, tidak bisa diajak ngomong dan tidak mau berteman dengan saya, tapi ternyata tidak.

Kami menjalin persahabatan disana karena sesuai namanya, Surabaya Friendship, dimana kita diajar untuk saling berteman satu sama lain dan juga berdinamika di dalam kelompok. Di pertemuan pertama ini juga saya baru mengenal refleksi dan refleksi adalah senjata utama anak T-SoM. Di sini saya juga belajar tentang sejarah terbentuknya T-SoM dan visi misi T-SoM. Jujur, saat akan pulang ke Padang, saya diam diam menangis, karena saya masih tidak percaya saya bisa ke tempat ini dan bertemu dengan teman-teman dari 14 keuskupan yang sangat ramah. Di sini saya belajar lebih dalam tentang apa itu gereja dan iman katolik yang saya tekuni.

Kemudian setelah pernas pertama, beberapa bulan kemudian kami pernas kedua di Muntilan dan judul dari pertemuan kali ini adalah “Muntilan Prayer”. Kalau di pertemuan pertama kami diajar untuk bersahabat dan saling mengenal satu sama lain, maka di Muntilan ini kami diajar untuk mengenal iman kita. Bahkan kita harus lebih diam lagi karena ini seperti rumah retret. Awalnya kami tidak tahu kalau di sini tidak boleh ribut. Kami masih membawa kebiasaan di Surabaya dimana kami boleh ketawa sekeras-kerasnya, ngobrol sampai tengah malam. Di Surabaya, kami dibebaskan. Namun berbanding terbalik saat di Muntilan ini. Sampai-sampai kakak pendamping harus naik ke lantai atas untuk memantau kami agar segera tidur. Jujur, saya kurang suka dengan keadaan seperti ini. Namun dibalik ini ada faedahnya. Di Muntilan ini kita diajak untuk mengenal lebih dalam lagi iman kita, dengan membaca kitab suci dan merefleksikannya.

Kami juga mendapat kesempatan untuk melihat Museum Misi, untuk melihat sejarah misionaris di Keuskupan Agung Semarang ini. Kami juga berkunjung ke makam para misionaris, untuk melihat perjuangan para misionaris, yang bahkan mereka rela mati untuk mempertahankan imannya. Saya juga melihat sejarah dari Romo Van Lith, misionaris dari belanda. Dari sejarah para misionaris ini, saya kagum dengan iman Romo Van Lith, meskipun dari tempat yang jauh dan memiliki banyak rintangan mulai dari bahasa, pakaian, serta adat istiadat yang berbeda, tapi tetap berani untuk bermisi. Maka dari itu saya pun bertekad untuk menjadi misionaris di zaman sekarang, dengan cara keluar dari zona nyaman saya, keluar dari kebiasaan yang kurang baik dan mewartakan kabar sukacita Injil dengan sukacita di keuskupan saya.

Seiring berjalannya waktu pada akhir bulan September kami, PERNAS ketiga di Makassar dengan judul “Makassar Action”. Di pertemuan kali ini, kami peserta T-SoM diajak untuk mengaplikasikan ilmu yang telah kami dapatkan di pertemuan pertama dan kedua di kehidupan sehari hari. Di pertemuan yang ketiga ini juga, kami diajarkan apa itu ASG [Ajaran Sosial Gereja]. Disini kami mendapat tugas live in bersama dengan anggota kelompok kami masing-masing-masing, ke berbagai tempat, mulai dari toko kue, rumah makan ataupun pabrik.

Saya mendapat tugas di rumah makan “Cobek-Cobek”. Saat sudah sampai disana, kami dijelaskan tentang aturan aturan di rumah makan tersebut. Kemudian saya bertugas menjadi pelayan di cabang rumah makan tersebut. Awalnya saya dan teman saya sangat takut dan malu untuk menjadi pelayan di sana, tapi saya memberanikan diri untuk menjadi penyapa tamu dan bertugas membukakan pintu di pintu depan. Setelah itu saya pun mulai melakukan pekerjaan lain, seperti cuci piring, mengantarkan makanan, dan menyapu lantai. Di sini, saya juga menemukan pelajaran lain dari kegiaan ini: ternyata tidak mudah bagi orang tua untuk mencari uang, harus ada pengorbanan dan rasa lelah yang harus dilalui oleh orang tua saya. Saya saat itu sempat berpikir betapa lelahnya para karyawan disini dalam melakukan pekerjaan, yang menurut saya ini sangat menguras tenaga. Bahkan melakukan setengah dari tugas mereka pun, saya langsung lelah. Itu pun belum ditambah kritikan pedas dari konsumen yang merasa kurang puas dengan pelayanannya. Ini semua benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra.

Tak terasa 3 bulan berlalu kami pun sampai di pertemuan terakhir. Pertemuan kali ini dilakukan di Keuskupan Padang tepatnya di daerah Mentawai. Sebelum berangkat dari rumah, saya mengatakan ini kepada diri saya “Hezkel, ini adalah pertemuan terakhir kamu di T-SoM Nasional. Meskipun ini akan menjadi pertemuan yang menyedihkan, namun sekarang kamu punya tugas yang harus dilalui yaitu live in di Mentawai. Tugas kamu sekarang adalah melakukan yang terbaik dan lakukan semua kegiatan dengan penuh sukacita”. Kalimat ini menguatkan saya untuk semakin bersemangat menjalani live in ini.

Meskipun sebelumnya saya sudah pernah ke Mentawai untuk live in T-SoM Keuskupan, tapi saya masih ragu dan takut. Apalagi saya mendengar tempat live in saya cukup jauh dan disana tidak ada listrik. Namun, saya beranikan diri dan mengingat kembali kata-kata saya tadi. Pengalaman yang paling berkesan adalah saat saya pergi ke tempat misi saya menggunakan boat. Kondisinya cukup menyeramkan, karena ombak yang besar membuat kapal kami terombang ambing yang bisa saja membuat boat kami ini terbalik. Meskipun ombak yang besar itu membuat baju saya basah kuyup, namun disitulah keindahan bermisi. Setiap ada rintangan, saya semakin menikmatinya.

Saat saya sampai di Stasi Taileleu, kami disambut dengan tarian khas Mentawai dan kami diberi kalung Mentawai. Setelah itu kami diantar ke rumah live in masing masing. Tuan rumah langsung mempersiapkan hidangan makanan sederhana, namun saya merasakan kesan yang sangat berbeda dibanding saat makan di rumah sendiri. Saya juga menyadari bahwa orang Mentawai itu sangat ramah. Hal itu terbukti saat saya mau ke gereja. Setiap bertemu di jalan mereka selalu senyum kepada saya. Di situ saya merasa, seperti ini kehidupan yang saya mau: orangnya ramah-ramah semua.

Banyak hal baru saya alami saat live in di Mentawai. Salah satunya adalah merayakan Natal jauh dari orang tua dan terpisah dari keluarga. Namun di Mentawai saya tidak merasa kesepian karena umat disana menganggap saya seperti keluarganya sendiri. Apalagi orang tua asuh saya yang sangat baik kepada saya. Di sini saya juga sadar, meskipun mereka disini hidup dengan sederhana, tetapi mereka menjalani hidup dengan kebahagiaan.

Selain itu, saya juga angkat jempol mengakui bahwa iman masyarakat disini sangat kuat. Meskipun kondisi jalan yang kurang bagus, tidak ada listrik, jalan gelap, bahkan hujan pun, mereka tetap setia datang mengikuti perayaan ekaristi. Hal ini merupakan refleksi penting bagi saya, apalagi kalau hujan sedikit langsung malas gereja, ketika dimarahi oleh pastor lalu ngambek tidak mau lagi bertugas. Mulai sekarang saya berjanji akan semangat lagi ke gereja dan semangat lagi bertugas melayani Tuhan. Sedikit demi sedikit saya mulai menyadari indahnya bermisi dengan sahabat. Saya juga belajar dari pengalaman live in di Mentawai ini. Setiap diberi cobaan dalam kehidupan atau bermisi, kita harus bisa melewati cobaan tersebut dengan sukacita. Kita harus menikmati semua proses kehidupan ini.

Saya sangat bersyukur bisa mengikuti T-SoM ini, karena saya diberi banyak sekali pelajaran yang berharga. Saya merasakan perubahan pada diri saya semenjak mengikuti Teens School of Mission ini. Saya sangat bangga dapat menjadi salah satu remaja missioner yang dilatih untuk menjadi cerdas, tangguh, gembira dan missioner. Saya mulai menyadari bermisi itu sangat menyenangkan jika dilakukan dengan ikhlas. Dan mulai sekarang saya berjanji kepada diri sendiri, kepada Tuhan bahwa saya akan siap diutus dimana dan kapan saja. AMIN.

“Bermisi bukan hanya tentang pergi ke daerah terpencil tetapi misi yang sesungguhnya adalah ketika kita menemukan cobaan di tempat bermisi,kita berusaha melakukannya dengan ikhlas dan melayani dengan penuh sukacita”

Satu respons untuk “Refleksi

  1. Ping-balik: Refleksi – T-SoM

Tinggalkan komentar