Novie Indriani – Pendamping TSOM III – Keuskupan Agung Makassar
(Sebuah) Perjalanan Misi Yang Dirindukan
TSOM Angkatan ke III adalah kesempatan kedua bagi saya setelah sebelumnya berkesempatan mengikuti TSOM Angkatan ke II sebagai pendamping pada tahun 2020-2022. Format yang berbeda dari TSOM Angkatan II tentu saja membuat kesempatan ini sulit untuk saya lepaskan. Melalui diskusi dan berbagai pertimbangan, saya akhirnya menerima tawaran dari Dirdios KKI KAMS pada saat itu, Pastor Junarto, untuk sekali lagi ikut serta sebagai pendamping bagi adik-adik TSOM.
Sejujurnya program TSOM III yang ditawarkan selama 1 tahun ini seakan menjawab doa yang pernah kupanjatkan beberapa tahun yang lalu. Beberapa tahun lalu, saya membaca kisah perjalanan misi Kak FX.Galih ke tanah Papua dalam rangka pelayanan Paskah. Kisah perjalanan Kak Galih dan suka duka pengalamannya, menggugah hati kecil saya. Setelah membaca kisahnya terselip sebuah doa, “Bapa, suatu saat nanti, saya juga ingin pergi ke tempat yang jauh, melakukan pelayanan misi, bertemu orang-orang yang baru, dan mengalami perjalanan luar biasa seperti Kak Galih”. Mimpi dan doa yang senantiasa kusimpan hingga akhirnya program TSOM III ini boleh saya ikuti. Pikiran pertama yang terlintas saat menerima rancangan program TSOM III adalah di pertemuan ke-IV kita akan melakukan pelayanan Natal di Mentawai. Yes, doa terjawab. Meski ada perasaan campur aduk, itu dikesampingkan dulu. Saya harus mempersiapkan diri dan mental untuk program TSOM III ini.
Sebuah perjalanan misi tentu saja tidak berarti langsung terjun ke medan misi tersebut. Saya harus melalui tahapan-tahapan yang akan membentuk pribadi dan mempersiapkan saya menjadi pribadi pendamping TSOM yang gembira, cerdas, tangguh, dan misioner. Tantangan pertama adalah pertemuan nasional I di Keuskupan Surabaya, yaitu Surabaya Friendship. Saya harus berangkat dalam himpitan situasi pekerjaan yang cukup sibuk, tetapi harus berpegang pada komitmen awal. Maka berangkatlah kami, kontingen Keuskupan Agung Makassar yang pada kesempatan kali ini mengutus 4 peserta remaja, dengan saya sebagai pendamping dan Pastor Junarto sebagai Dirdios.
Surabaya Friendship, menjadi kejutan yang luar biasa. Ada 14 Keuskupan dengan peserta yang jauh lebih banyak dari TSOM II sebelumnya. Tentu saja bagi saya yang cenderung “introvert” hal ini cukup mengejutkan, namun yang menenangkan saya adalah pertemuan ini dilaksanakan di Surabaya. Ada Kak Ratna yang telah lama menjadi mentor bagi saya dan timnya yang juga adalah teman-teman dari Youcat. Wajah-wajah yang pernah saya jumpai sebelumnya meski hanya secara daring. Selain itu, beberapa wajah familiar juga masih kutemui. Ada Ibu Lili dan Kak Wiwi dari Bandung dan juga teman-teman pendamping sekami dari Regio MAM yang sudah sering saya jumpai dalam pertemuan regio. Perasaan takut dan tertutup seketika itu pun menjadi hilang, berganti dengan suasana keakraban dan persahabatan.
Melalui Surabaya Friendship ini, saya betul-betul belajar untuk menempatkan diri saya sebagai teman bagi orang lain yang saya jumpai. Saya harus lebih berani membuka diri untuk menyapa dan berteman dengan orang lain meskipun itu adalah hal yang sulit buat saya. Melepaskan keegoisan diri dan mulai menikmati alur proses yang ada ternyata membawa hal yang positif buat saya. Terlebih saya bersyukur atas teman-teman kelompok saya yang meskipun jumlahnya paling sedikit tetapi semangatnya tidak kalah dengan kelompok yang lain. Sungguh pengalaman yang luar biasa boleh mengikuti proses di Surabaya Friendship ini.
Cerita yang berbeda mengiringi persiapan Pertemuan Nasional ke-2 yang diadakan di Keuskupan Agung Semarang, tepatnya di Muntilan. Mengusung tema Muntilan Prayer, saya mempersiapkan hati untuk datang berdoa dan melakukan retret, sesuai dengan arah dari tema pertemuan kali ini. Jujur hati ini berat dan lelah saat harus berangkat, tenaga sepertinya sudah terkuras habis. Memikirkan pertemuan ini dan juga menghadapi situasi bahwa setelah Muntilan Prayer selesai, kami harus langsung mengikuti JAMNAS SEKAMI 2023 di Mertoyudan. Saya sungguh-sungguh berharap saya dapat menikmati suasana retret agar hati dan pikiran tenang, bisa mempersiapkan diri dengan baik serta menguatkan hati untuk mengikuti JAMNAS.
Tetapi situasi tidak berjalan seperti yang saya harapkan. Suasana yang tercipta justru ribut dan ribut. Adik-adik peserta seakan terlalu larut dalam suasana pertemuan setelah sekian lama tidak bersua. Disiplin mereka pun berkurang dan keributan mereka membuat istirahat semuanya pun terganggu. Di sinilah, saya mengalami peristiwa 2 titik balik yang mengubah pandangan saya.
Titik balik pertama ketika pada misa pagi, Pastor Lopes menyanyikan sepenggal bait lagu “Beta janji, beta jaga, Yesus untuk selamanya. Beta janji akan setia, hanya untuk satu cinta. Ini cinta yang Lopes punya, dari relung hati jiwa. Cuma par Yesus sajalah, cinta ni abadi…selamanya”. Lirik ini begitu membekas di hati saya, seolah-olah menegur saya yang datang hanya setengah hati dengan segala macam kekhawatiran dan kekecewaan karena apa yang saya mau tidak saya jumpai. Lirik ini dan khotbah Pastor Lopes mengajarkan saya untuk mengingat kembali komitmen awal saya kenapa memilih untuk mengikuti TSOM ini.
Titik balik kedua adalah saat saya dititipi pesan oleh Kak Tan Mariam, sebelum Ia harus meninggalkan Muntilan menuju Mertoyudan. Kak Tan mengatakan bahwa “Novie, kamu sebagai pendamping berhak untuk menegur adik-adik kalau mereka salah. Kalian ini adalah pendamping, jadi itu sudah tugas kalian untuk membimbing mereka”. Kata-kata ini juga menusuk hati saya, karena memang awalnya meskipun adik-adik TSOM ribut, ya saya pikir masih adalah pendamping lain yang menegur. Mereka yang ribut juga bukan anggota saya, tidak enak jika saya menegur mereka. Kata-kata Kak Tan ini menyadarkan saya bahwa saya adalah pendamping TSOM, pendamping bagi semua peserta. Menjaga adik-adik adalah tugas para pendamping.
Sore hari itu, akhirnya secara tegas saya menegur keras adik-adik yang ribut dan yang tidak taat pada jadwal. Itu kali pertama saya berbicara secara terbuka kepada adik-adik TSOM, mengingatkan mereka akan apa tujuan pertemuan ini, apa yang seharusnya mereka lakukan, dan apa yang diharapkan dari mereka. Seketika suasana benar-benar menjadi hening dan tegang. Ibu Lili dari Bandung pun membantu mencairkan suasana dengan memberikan nasihat lanjutan kepada adik-adik peserta TSOM. Pastor Martin sebagai Dirdios Medan kemudian mengambil alih pertemuan tersebut dan menenangkan adik-adik. Beliau kembali juga mengingatkan hal-hal yang seharusnya bisa dipahami oleh adik-adik TSOM sebagai peserta yang terpilih dari keuskupan masing-masing dan apa maksud dari tindakan yang diambil oleh pendamping saat menegur mereka. Setelah teguran ini, adik-adik menjadi lebih terarah. Proses pertemuan bisa berjalan dengan lebih baik dan tenang. Situasi ribut pun berkurang, mereka lebih tahu harus berbuat apa.
Terus terang dalam hati saya, saya merasa bersalah kepada rekan-rekan pendamping yang lain, juga kepada para Dirdios yang ada, karena saya menegur mereka seperti itu. Saya meminta maaf kepada para pendamping yang lain dan meminta agar permohonan maaf ini juga diteruskan kepada Dirdios masing-masing. Para pendamping yang lain pun sebenarnya setuju dengan teguran yang saya berikan. Mereka mengatakan bahwa hal itu perlu untuk dilakukan, semacam “shock therapy” agar adik-adik ini juga memiliki rasa bertanggung jawab dan disiplin. Melalui pertemuan ke-2 ini saya sungguh belajar mengenai komitmen, menjaga kesetiaan, dan menjaga tanggung jawab.
Pertemuan ke III selanjutnya dilakukan di kota sendiri, di Makassar dengan tema Makassar Action. Hubungan sosial dengan sesama seturut ajaran sosial gereja menjadi topik utama. Pada pertemuan ini, karena Makassar menjadi tuan rumah, maka segala pengurusan kegiatan dan pengaturannya juga melibatkan saya secara penuh. Bersama dukungan dari Tim Pelayanan Sekami Kevikepan Makassar dan Tim BN KKI, kami bergerak untuk menyusun kegiatan ini. Tim mendukung dari luar hal-hal yang tidak bisa saya kerjakan, tetapi bagian dari internal TSOM menjadi urusan saya. Semua hal yang berkaitan dengan kegiatan di dalam lokasi Baruga Kare dan tempat live ini harus bisa saya jangkau. Tentu saja tingkat kesulitannya melebihi dari apa yang saya perkirakan.
Semua hal sampai mendetail sudah harus saya pikirkan. Mulai dari awal sampai akhir, persiapan peralatan, pengaturan kontingen, area lokasi kegiatan, dan hal-hal kecil lainnya. Semua indra dan kepekaan rasanya bekerja hingga 1000%. Sudah berusaha diantisipasi tetapi ternyata langkah saya harus bisa lebih jauh dari apa yang diharapkan. Dengan berbekal pembelajaran dari pertemuan ke-2 soal komitmen, setia, dan tanggung jawab, semuanya bisa saya lalui dengan baik.
Makassar Action benar-benar menuntut saya untuk tidak hanya berkomitmen tetapi harus terjun langsung dan mengeksekusinya hingga akhir. Memastikan semuanya berjalan dengan baik, jangan sampai ada yang terlewatkan. Perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, mengatur waktu dengan baik, menjamu tamu dengan baik, dan mempersiapkan semua dengan baik. Sebuah pembelajaran baru yang saya percaya tentu saja menambah ilmu dan semakin mempersiapkan saya untuk pertemuan ke-IV.
Akhirnya pertemuan ke-IV pun tiba, pertemuan yang menjadi ujian akhir TSOM III. Di pertemuan ini saya diberikan tugas oleh Pastor Maman (Dirdios Keuskupan Bandung) sebagai koordinator pendamping TSOM III yang akan mengatur 2 acara, yaitu Wawan Hati dengan Bapa Uskup Padang dan acara Outing. Awalnya saya sempat merasa takut, stress, dan terus bertanya, mengapa harus saya? Mengapa bukan yang lain saja?. Saya meragukan diri sendiri ketika diberikan tugas tersebut. Saya terus menerus bertanya, apakah saya mampu mengkoordinir pendamping dari 13 keuskupan lainnya? Apakah saya mampu memenuhi harapan mereka?. Banyak pikiran berkecamuk tetapi semua harus berjalan sesuai jadwal karena kegiatan terakhir ini skalanya lebih besar dari yang lain. Pertemuan ini adalah pertemuan puncak dengan model live in (tinggal) di rumah umat dalam stasi yang dipilih.
Awalnya saya hanya berpikir untuk mengkoordinir pendamping saja, berbagi tugas lalu memantaunya. Ternyata tugas ini tidak semudah yang direncanakan. Pengembangan tugasnya semakin lebar dan akhirnya semakin banyak yang harus dikoordinasikan. Di sini saya merasakan apa yang sudah saya pelajari dari pertemuan 1 sampai 3 diaplikasikan secara langsung untuk pertemuan ini.
Saya harus belajar terbuka dan berkomunikasi dengan orang lain, baik dari setiap keuskupan, dari Tim KKI Padang, dan bahkan dari pihak stasi. Saya harus kuat memegang komitmen dan tanggung jawab, harus teliti dan jeli mengatur segala macam hal, bahkan sampai memikirkan dan mempersiapkan rencana-rencana tambahan/cadangan. Kesulitan ini semakin bertambah karena saya pun harus mempersiapkan kontingen sendiri, dimana kontingen KAMS sendiri pada pertemuan ke-4 ini sudah berganti Dirdios. Pastor Nando sebagai Dirdios KKI KAMS yang baru akan ikut pertemuan TSOM untuk pertama kalinya.
Pada satu titik saya sempat berhenti dan hanya duduk termenung sambil bertanya dalam hati, apakah ini rencana yang Tuhan persiapkan untuk saya? Apakah semua yang telah saya lalui dari awal sampai saat ini adalah untuk mempersiapkan perjalanan misioner ini?. Tuhan seakan mau mengingatkan saya bahwa inilah yang kuminta dariNya, sebuah perjalanan misioner. Tuhan juga tidak mau saya pergi dengan tangan kosong. Tuhan sungguh-sungguh menempa dan membentuk saya agar siap dan berani untuk melangkah keluar dari kenyamanan pribadi.
Berangkat menuju tanah misi, Stasi Taileleu, Kevikepan Kepulauan Mentawai, Keuskupan Padang. Tempat yang harus dituju dengan penuh perjuangan. Sebagian perjalanan ditempuh melalui jalur air yang bagi saya menjadi masalah tersendiri karena sebenarnya perjalanan air di perairan terbuka membangkitkan ketakutan trauma masa kecil. Sungguh luar biasa bahwa saya bisa bertahan melaluinya tanpa banyak “drama”. Hidup di tengah-tengah umat yang sederhana, dengan kondisi yang terbatas, tidak ada sinyal, air yang terbatas dan cuaca yang panas terik kering tentu tidak mudah. Tetapi dengan keramahan dan rasa persaudaraan yang kuat, tidak ada halangan berarti.
Pastor Marson (Dirdios Manado) yang mendampingi di Stasi kami juga mengatakan, ikuti saja semua proses dengan syukur dan sukacita, selebihnya pasrahkan kepada Tuhan. Dan…, inilah saya betul-betul tiba pada titik sepenuhnya pasrah pada setiap rencana Tuhan. Mulai dari menerima keterbatasan situasi yang ada, menghadapi sekami yang jumlahnya sekitar 200-an anak, kondisi panas terik, perbedaan kebudayaan, dan yang lain. Semuanya dijalani dengan syukur, dinikmati, dan diberi rasa sukacita.
Menjalani suasana Natal yang sangat sederhana tetapi ada pesta Natal yang berlangsung sampai tengah malam dengan kondisi TSOM harus siap tampil apapun yang diminta, menjadi cerita tersendiri. Bertukar pikiran dengan Bapa Uskup Padang, Mgr. Vitus, mendengarkan dan melihat secara dekat pelayanan dari beliau dan Pastor yang bertugas di Pulau Siberut, semua menyadarkan saya betapa saya harus bersyukur berada di tempat yang dekat dengan pelayanan pastoral. Bagaimana dengan mereka yang mungkin belum tentu dikunjungi Pastor sekali dalam waktu 6 bulan karena terbatasnya jangkauan area pelayanan pastoral? Karena keterbatasan transportasi dan hal lain. Sungguh seharusnya kita bisa lebih bersyukur.
Perjalanan TSOM III selama 1 tahun ini sungguh menjadi sebuah perjalanan misioner yang lengkap bagi saya. Pandangan saya semakin terbuka dengan keadaan yang berbeda. Saya boleh mendapatkan banyak hal-hal positif yang menguatkan dan berguna dalam tugas yang dipercayakan kepada saya. Saya pun percaya bahwa Tuhan tidak akan mengutus kita tanpa mempersiapkan pribadi kita. Setiap hal yang kita lalui pasti tidak lepas dari rencana besar Tuhan kepada kita. Kita diutus dalam tugas misioner untuk berbagi sukacita Injil. Kita hanya perlu tetap percaya, berkomitmen, setia, bertanggung jawab, bersyukur, berusaha untuk melakukan yang terbaik, dan selanjutnya pasrah pada kehendakNya.
Saya berterima kasih untuk kesempatan yang luar biasa ini, boleh belajar bersama rekan-rekan pendamping TSOM, adik-adik TSOM, tim-tim hebat dari Keuskupan pelaksana kegiatan dan para Dirdios TSOM yang luar biasa. Semoga pengalaman ini bisa menjadi bekal yang semakin menguatkan jejak langkah misioner saya kedepannya.
Doa :
Bapa yang mahabaik, terima kasih untuk berkat penyertaanMu selama 1 tahun perjalanan TSOM ini. Kiranya semua hal baik yang kuterima bisa menjadi kekuatan bagiku untuk melakukan banyak kegiatan misioner ke depannya. Jagalah semangat komitmen dan tanggung jawab ini agar boleh berbuah banyak dan menghasilkan kebaikan bagi orang lain. Amin.
Quote :
“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya (Matius 21:22)”
2 respons untuk ‘Refleksi’