Refleksi

Kristofora Wiwi

Pendamping TSOM#3 – Keuskupan Bandung

Emang boleh… sesabar itu jadi penjaga hati?

Emang boleh… sesiap itu jadi penjaga hati? Jawabannya tentu saja Bolehh…bolehh…boleehh. Tagline ala remaja jaman now yang viral di media sosial tiktok dengan nada yang khas. Pertanyaan dan jawaban dari tagline ini tentunya mewakili gambaran yang dijawab dalam berjalannya proses mendampingi remaja TSOM Angkatan ke-3 selama satu tahun berproses di tahun 2023.  Perjalanan apa? Menurut saya kali ini perjalanan menjadi penjaga hati untuk membawa misi kebahagiaan bagi sesama.

Memang proses hampir banyak dilakukan di setiap Keuskupan namun juga adanya pertemuan Nasional yang menuntut keterlibatan lebih banyak dalam bermisi. Mulai dari pertemuan Nasional pertama Surabaya Friendship, sebagai seorang pendamping saya belajar saat mereka mengenal dirinya ternyata peran pendamping untuk memberikan validasi perasaan untuk menerima kondisi mereka apa adanya sangat penting disaat mereka terkejut mengenal dirinya apa adanya.

Pertemuan nasional kedua Muntilan Prayer, fokusnya adalah bagaimana remaja dalam proses retret bisa semakin mengenal dan nyaman dekat dengan Tuhan. Pendamping adalah fasilitator, atau bahasa kekiniannya makcomblangnya remaja dengan Tuhan untuk bertemu dalam doa. Perasaan remaja, ternyata membutuhkan bantuan mengkondisikan suasana dan mengontrol diri kapan saatnya mengolah rasa senang yang berlebihan akan perjumpaan. Sebagai pendamping, saya kembali melihat bagaimana saya perlu menurunkan satu skala idealisme saya. Memahami mereka adalah remaja yang baru pertama kali mengenal berbagai perasaan yang muncul. Kaget nggak remajanya? pasti kaget bahkan mungkin tidak kenal dengan perasaan perasaan aneh yang pertama kali muncul seperti senang tapi sedih, sedih tapi senang? Saya menyadari perasaan remaja yang galau itu bukanlah hal aneh, tapi mereka sedang perlu bantuan untuk mengolah perasaan itu. Benturan dengan remaja yang tidak mau terbuka dengan perasaannya, benturan dengan remaja yang tidak peka dengan perasaannya, benturan dengan karakter remaja semakin banyak informasi semakin cemas dan takut untuk mengolah perasaannya semua muncul saat dituangkan dalam refleksi. Saya ingat pertemuan ini akhirannya ada kata “prayer” maka remaja perlu dibantu berinteraksi dengan Tuhan Yesus bukan sekedar menjadi patuh. Namun, bagaimana bisa masuk mengontrol diri dalam “doa”. Memiliki sikap mendengar untuk berinteraksi dengan Tuhan dan bukan sibuk dengan pikiran akan ketakutannya. “Prayer” yang memiliki peran utamanya untuk mengolah adalah Tuhan, sebagai pendamping hanya “mak comblang” saja, bantu saja kondisikan supaya remaja akrab dengan kata-kata Tuhan dari Kitab Suci yang mereka baca dan renungkan. Jadi ya nggak apa-apa kalau belum bisa kenal kenapa perasaan mereka munculnya galau? Ini porsinya Tuhan yang mengolah dalam retret dan doa.

Pertemuan Nasional ketiga, Makassar Action. Kali ini mengolah perasaan remaja dalam kehidupan sosial masyarakat. Tujuan akhirnya bukan melihat remaja yang mampu menyelesaikan pekerjaan, namun mengolah rasa lewat perjumpaan yang dilihat, berkomunikasi, dan melakukannya dengan penuh sukacita. Hampir terlewat membantu remaja mengenal perasaan dan kepekaan dengan kehidupan orang lain saat sedang bekerja, karena fokusnya remaja seringkali hanya pekerjaan selesai. Sebagai seorang pendamping kembali saya menurunkan skala idealisme saya terhadap remaja dalam mengolah rasa, karena mengolah rasa bagi remaja juga membutuhkan kepekaan untuk bisa berkomunikasi dengan orang dewasa di tempat mereka bekerja. Sebagai pendamping saya menyadari perlu membantu mengarahkan mereka kata apa atau topik apa yang bisa dibicarakan untuk bisa mengobrol dengan orang dewasa yang baru pertama kali mereka kenal. Ajaib memang, setelah remaja berbincang Tuhan sendiri mungkin yang berbisik pada mereka, bagaimana mereka memaknakannya menjadi menghargai usaha orang yang bekerja, memahami keadilan dalam bekerja, dll.

Puncaknya Tuhan mengajak saya berdamai dengan idealisme saya saat pertemuan nasional yang keempat, Mentawai Pilgrimage. Perjalanan yang panjang, bagi remaja dan berproses bersama di sebuah stasi bersama saya. Stasi Tiop, paroki Siberut adalah tempat saya berproses sebagai pendamping bersama 6 orang remaja T-SOM (Gracella-Keuskupan Tanjung Selor; Leon-Keuskupan Padang; Novena-Keuskupan Manado; Kristin-Keuskupan Agung Makassar; Jocelyn-Keuskupan Agung Semarang; Cledy-Keuskupan Amboina), 3 pendamping (Saya-Kak Wiwi Keuskupan Bandung; Kak Nicken-Keuskupan Pangkalpinang; Kak Imelda-Keuskupan Padang), kakak wakil dirdios (Kak John-Keuskupan Amboina), dan juga seorang pastor dirdios (Romo Patris-Dirdios Keuskupan SIntang). Selama live-in kegiatan yang dilakukan mendampingi para remaja melakukan pelayanan natal di stasi Tiop baik sebagai petugas liturgi, pelayanan natal ceria mengajar anak-anak SEKAMI, kunjungan orang sakit, membersihkan gereja, membantu kehidupan sehari-hari orangtua di tempat tinggal live-in. Dekorasi gereja di stasi Tiop penuh warna seperti ulang tahun, kemudian pohon natal, rumbai janur khas dekorasi Mentawai, dan lampu natal. Berbedanya disana saya mencari dan bertanya dimana palungan bayi Yesus, kok nggak ada di depan altar?. Rupanya karena kondisi di stasi Tiop terbiasa hanya mengalami ibadat natal, di stasi tersebut tidak terbiasa menyiapkan palungan bayi yesus. Biasanya saya kalau lihat palungan bayi Yesus saat menyanyi lagu malam kudus terasa sekali betapa agungnya raja kecil yang hadir penuh kasih. Kali ini merayakan natal tanpa palungan Yesus dan juga bayi Yesus, memang awalnya kecewa karena merindukan momen agung tersebut. Saat perarakan misa, hampir Tengah malam tanggal 24 desember. Ada seorang adik SEKAMI juga terpukau dengan Cahaya lilin itu, adik itu mengatakan Cahaya lilin itu “laggo” artinya bulan. Adik itu mengira bulan, tapi itu bukan bulan namun Cahaya dari lilin. Cahaya lilin yang dibawa remaja T-SOM sebagai misdinar membawa kehangatan tersendiri, seolah saya merasa Cahaya lilin itu ya Bayi Yesus yang saya cari patungnya, dan palungannya? Palungannya adalah hati yang kita bawa di stasi Tiop untuk seluruh umat disana. Momen kesederhanaan yang hangat ini kembali menurunkan idealisme saya saat membantu remaja T-SOM mengenal perasaan saat bermisi saat dituangkan dalam refleksi. Se-sederhana perasaan pertama kali yang muncul saat saya melihat Cahaya lilin di malam natal adalah sata yang nyaman dengan hangat dan tenang. Para remaja pun lebih mudah merasakan perasaan mereka saat diminta menutup mata mengingat momen paling berkesan dan perasaan yang muncul paling kuat. Mereka lebih mudah menerima bukan hanya momennya tapi perasaan yang membersamai momen itu.

Sebetulnya ini pengalaman mendampingi T-SOM Nasional untuk yang ke-3 kalinya. Apakah semakin tenang karena punya pengalaman?  Jawabannya adalah Tidak..tidak..tidak… Pengalaman Angkatan ke-3 ini tentunya berbeda karena berjumpa dengan remaja yang memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda.

Sebagai seorang pendamping yang juga berlatar belakang sebagai seorang psikolog anak dan remaja di angkatan ke-3 ini, saya memiliki idealisme paradigma tersendiri terutama dalam menuntun remaja menulis refleksi untuk mengolah rasa yang dialami  setiap bulan dan refleksi saat selesai mengikuti Pertemuan Nasional T-SOM. Saat mengolah refleksi seolah sedang melakukan konseling dengan remaja T-SOM. Berawal dengan menggali emosi dan perasaan remaja yang sering kali dijawab “ya biasa aja, ya gitu aja kak”.

Sebagai seorang pendamping dan seorang psikolog yang masih berpatokan ideal yang tinggi merasa tertekan kenapa sudah mengalami langsung kok belum menyadari perasaan sendiri ya? Kok hanya dijawab biasa saja?. Tergelitik untuk memancing lebih dalam perasaan mereka, menyadari lebih nyata akan perasaan yang mereka rasakan. Bedanya adalah saat saya sebagai psikolog yang memberikan konseling dengan klien saya bisa mengatasi perasaan untuk tidak terhanyut dalam konseling klien. Namun, saat menggali refleksi dengan remaja T-SOM, sulit untuk tidak terhanyut dengan proses berefleksi setiap remaja. Saat dibedah perasaan nyata apa yang muncul oleh remaja? Belajar menata pengalam dan rasa yang dirasakan? Kemudian memancing menyusun kembali hati yang sudah dibedah dalam refleksi setiap remaja T-SOM. Berproses mengenal diri lebih dalam dari pengalaman misi. Rasanya saat membantu remaja TSOM menggali refleksi, ikut terasa pedih dan juga bahagia yang sama. Kenapa yak kok ikut terbawa suasana ikutan pedih dan senang? Dalam proses T-SOM Angkatan ketiga ini idealisme mengenal rasa itu perlu digali sampai dalam perlahan memudar, karena bagi remaja mengenal rasa menjaga rasa untuk bisa bermisi membawa kebahagiaan butuh proses yang ditentukan oleh pengalaman mereka dan Tuhan sendiri. Kalau sebagai pendamping belum berhasil memancing perasaan yang muncul dan masih terasa biasa, bukan sebuah kesalahan namun memang belum waktunya bagi remaja untuk mengenal perasaan mereka dengan jelas saat bermisi. Sebagai pendamping tidak perlu kecewa atau merasa gagal, karena sudah mencoba namun memang Tuhan yang menjaga hati mereka punya takaran waktunya sendiri.

Menjadi pendamping TSOM Angkatan ke-3 selama 1 tahun di tahun 2023 menjadi tiga poin hadiah tersendiri. Kalau dilihat dari angkanya yang berakhiran 3 kalau boleh cocoklogi tahun ini semakin spesial karena:

Pertama saya mendapat hadiah, ulangtahun di tanah misi hari pertama dengan sambutan dan kehangatan yang tidak disadari seperti palungan Yesus yang saya cari fisiknya padahal sudah hangat di dalam hati. Kedua, saya mendapat hadiah proses selama satu tahun bermisi bahwa mengolah rasa pada remaja perlu membuat remaja nyaman dengan situasi yang dikondisikan, hingga sebagai remaja mereka bisa memahami rasa tanpa harus pendmaping bercerita banyak bentuk bentuk perasaan. Ketiga, membantu mengolah rasa yang tidak mudah dipahami oleh remaja tidak harus selesai pada momen itu karena mungkin maunya Tuhan Yesus yang menjaga hati dan mengolah rasa remaja, biar pendamping juga bersabart sedikit biarkan remaja belajarnya mengalir perlahan secara bertahap.

Sabda Tuhan yang mengajak saya merenungkan perjalanan misi kali ini (Yohanes 1:36) “Dan ketika Ia melihat Yesus lewat, ia berkata: “Lihatlah, Anak domba Allah”

Anak itik dimakan buaya

Sekian cerita misi saya….

“ Terus bergerak untuk terima berkat yang banyak”

Tinggalkan komentar