Refleksi

Xavier Xaverius Salim – Peserta TSOM#3 K. Pangkalpinang

Belajar Bermisi Melalui T-SOM

Berawal dari ajakan bermisi dan akhirnya saya berkomitmen menjadi anak T-SOM. Pertama-tama saya sempat bingung dengan program ini dan istilah T-SOM masih asing di telinga saya.  Dalam pikiran saya akan jalan-jalan dari satu kota ke kota lainya, tetapi itu pikiran saya sebelum terlibat menjadi anak T-SOM. Setelah dijelaskan oleh Dirdios dan pendamping T-SOM Keuskupan Pangkalpinang saya semakin mengerti apa dan tujuan dari T-SOM itu. Teen School Of Mission (T-SOM) dengan visi menjadikan remja katolik yang cerdas, gembira, tangguh dan misioner membuat saya terpanggil untuk bermisi.

Perjalanan saya diawali dengan pertemuan T-SOM di Surabaya.  Ini adalah perjalanan saya yang pertama tanpa didampingi oleh orang tua. Saya memiliki  keraguan dalam hati saya apakah saya sanggup dan mampu mengikuti kegiatan T-SOM ini. Saya masih sangat muda,  usia belum genap sebelas tahun,  masih duduk di bangku kelas lima, dan dalam keluarga saya sebagai anak tunggal.  Apakah saya bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan baru? Namun, satu hal yang menguatkan saya adalah saya telah aktif dalam kegiatan Gereja dan sering diajarkan untuk mandiri dan bertanggungjawab.

Setelah sampai di Surabaya kami disambut hangat oleh Tim KKI Surabaya, disini saya dapat bertemu dan berkenalan dengan teman-teman dari 14 Keuskupan di Indonesia. Kami saling berkenalan satu sama lain sesuai dengan temanya  Surabaya Friendship. Disini kami juga diingatkan kembali visi dan misi T-SOM dan kami juga diajarkan cara untuk membuat refleksi. Kegiatan ini sangat menyenangkan dan berkesan bagi saya. seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang “, disini kami semua sudah seperti keluarga tak ada yang membedakan kami semua . Setelah pertemuan ini saya merasa lebih percaya diri dan yakin pasti mampu untuk mengikuti seluruh  kegiatan T-SOM karena kedewasaan iman tidak diukur dari usia kita. Semakin banyak pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan akan membuat iman saya semakin bertumbuh.

         Pertemuan kedua  di Muntilan. Di sini kami diajarkan betapa pentingnya membaca kitab suci dan penjelasan tentang metode Teks, Amanat dan Tanggapan (TAT). Kami juga diminta untuk membuat doa dengan 11 suku kata, walaupun tampak sederhana tetapi rupanya sulit juga ketika praktek. Apalagi saya ini cenderung membuat doa dengan kalimat Panjang dan bertele-tele. Para peserta bersemangat, termasuk saya ikut terpacu juga untuk maju mengutarakan doa yang saya buat dengan 11 suku kata itu. Kami juga pergi ke museum misi Muntilan, di sini saya sangat terkesan pada wayang versi Katolik yang menggambarkan kekreatifan umat Katolik di Indonesia yang dapat menyatukan budaya Indonesia dengan gereja Katolik. Saya merasa diberi Rahmat oleh Tuhan untuk berpikir kreatif dan termotivasi untuk berbagi sukacita Injil.

Pertemuan ketiga di Makassar. Di sini kami melaksanakan pratik  Ajaran Sosial Gereja (ASG). Saya menerapkan ajaran sosial gereja ini melalui kegitan live ni di pabrik Kasur. saya mendapatkan pekerjaan untuk membuat kasur, sofa, bantal dan lain-lain. Saya menikmati pekerjaan ini dan merasakan menjadi karyawan pabrik sehari. Dari kegiatan ini saya belajar untuk fokus dan terarah pada satu pekerjaan. Saya harus terus bersyukur atas apa yang disediakan kedua orang tua dan ikut merasakan jerih payah mereka mencari nafkah kehidupan keluarga kami.  Saya belajar untuk selalu siap sedia diutus  kemana pun oleh Gereja.

Setiap Pertemuan memang memiliki kisahnya masing-masing khususnya di Mentawai Pilgrimage. Perasaan saya campur aduk, perasaan saya yang pertama adalah saya sangat bersemangat untuk bermisi di Mentawai. Saya sudah menyiapkannya jauh-jauh hari sebelum akan berangkat. Perasaan saya yang kedua saya sedih karena tidak bisa merayakan natal Bersama- sama keluarga, tetapi sebagai anak misioner saya akan selalu siap untuk bermisi dan berani keluar dari zona nyaman saya. Perjalanan menuju Mentawai lumayan melelahkan sekaligus menyenangkan, mungkin ini perjalanan yang tak terlupakan bagi saya apalagi kami harus menerjang ombak dengan menaiki boat. Di stasi Rogdog saya mendapat keluarga baru. Dikeluarga ini saya diajarkan untuk bertoleransi. Keluarga ini tidak semua anggotanya beragama Katolik, ada Sebagian yang memilik agama yang berbeda. Disini saya juga banyak belajar kesederhanaan, tapi dalam kesederhanaan kami semakin merasakan perjalanan misi kami. Di stasi Rogdog kami merayakan natal ceria bersama BIR dan BIAK. Melihat kebahagian anak-anak ada rasa kepuasan sendiri yang saya rasakan, kami juga mengunjungi dan mendoakan orang orang sakit, saya senang bisa terlibat dan menjadi berkat bagi sesama .

Tidak dapat dipungkiri setiap pertemuan pasti ada perpisahan.Mengikuti T-SOM ini merupakan pengalaman yang tak akan terlupakan seumur hidup ku.Dengan mengikuti T-SOM sangat memotivasi aku menjadi lebih baik, lebih berani mewartakan kabar suka cita.

Quotes:

Tuhan tidak memanggilku untuk mengejar kesuksesan, Ia memanggilku untuk SETIA kepada-Nya.

Tinggalkan komentar