Ignatius Rakatmajapideksa Nugraha, T-SoM#4

Aku, Kamu, Kita, jadi Saudara

Setelah menempuh perjalan sekitar 12,5 jam dari Muntilan ke Bandung, aku pun sampai sekitar jam setengah 6 pagi di gedung Bumi Silih Asih, yang akan akan menjadi tempat berdinamika selama pertemuan Bandung Friendship ini. Pagi itu, aku mendapat kesan pertama yang sangat baik, yang membuatku speachles, yaitu sebelum mulai acara, kami, para peserta dan pendamping sudah disambut dengan jalan-jalan mengelilingi kota Bandung, dan pergi ke tempat tempat indah di Bandung. Satu kata sebagai kesan pertama adalah “keren”. Setelah jalan-jalan, aku lanjut mengikuti kegiatan, dan acara yang sudah disiapkan secara matang sebagai bagian dari pertemuan Bandung Friendship. Hal yang berkesan dan penuh pelajaran bermakna di hari pertama bagiku adalah saat di museum geologi, dan pada saat misa. Di museum geologi, saya belajar bahwa tidak ada hasil indah dan bermanfaat secara instan, contoh yang saya temukan adalah batu mulia dan batu bara. Batu-batu ini harus melalui proses yang rumit dan waktu yang tak singkat, untuk mencapai keindahan dan menjadi bermanfaat. Begitu juga dengan manusia yang harus berproses untuk menjadi indah dan bermanfaat. Proses inilah yang disebut usaha, dan dalam setiap usaha, pasti ada pengorbanan, seperti pada bacaan pertama di misa, para rasul mengorbankan hartanya untuk dibagikan kepada yang lain sesuai kebutuhan. Inilah pengorbanan yang menghasilkan keindahan dan manfaat. Pengorbanan dalam pandangan Katolik didasari oleh rasa percaya akan Yesus Kristus, yang seperti pada bacaan Injil, tentang Yesus yang menampakkan diri pada murid-muridnya dan Thomas yang tidak percaya bahwa Yesus bangkit. Lalu Thomas dan para murid menjadi percaya, dan berani mengorbankan apapun yang dia miliki untuk bermisi mewartakan kabar sukacita kebangkitan Kristus kepada semua orang. Jadi, bermisi memerlukan pengorbanan, dan pengorbanan memerlukan rasa percaya akan Yesus, seperti murid-murid Yesus.

Di hari kedua, aku menjalani acara, dan kegiatan utama dari pertemuan ini, yaitu outbond, yang tujuannya jelas untuk membina rasa persaudaraan antar peserta T-SOM angkatan 4 ini. Yang menarik dan bisa dipelajari dari hari kedua ini adalah saat outbond, tepatnya saat aku dan kelompokku bermain game “pick the bowl”. Jadi, di game ini, aku dan teman se-tim diminta melempar bola pingpong ke wadah telur yang sudah diberi warna per lubangnya, dan akan diberi hadiah makanan sesuai warnanya. Aku mendapat warna ungu. Di lain sisi, teman se-timku, Dela, dan Kiel mendapat warna kuning, dan hadiahnya adalah potongan timun, sedangkan Levina dan Cilla mendapat warna hijau, dan hadiahnya adalah biskuit, dan hadiahku, bisa dibilang paling menyedihkan, yaitu kacang panjang mentah, yang rasa dan aromanya tidak karuan. Aku dan teman teman juga diminta untuk menghabiskan makanan tersebut. Aku dan teman teman pun menghabiskannya, walaupun aku sedikit bermasalah dengan rasa dan aroma kacang panjang mentah itu. Namun, aku salut dengan teman teman dan pendamping yang bukannya mengejekku karena mendapat hadiah yang sungguh tidak diharapkan, tetapi malah menyemangati, agar aku bisa menghabiskannya. Disini aku belajar untuk lebih bersyukur dan menghargai apa yang dikaruniakan bagiku, dan apa yang aku miliki. Aku juga belajar untuk tidak menjadi sombong dan tidak mengejek orang yang kurang beruntung dariku, melainkan aku harus mau menyemangati dan berusaha menghibur orang yang tidak se-beruntung aku.

Hari ketiga, dan terakhir. Bangun pagi, sarapan, mengikuti beberapa sesi, misa penutupan, dan makan siang. Inilah saat-saat terakhirku bersama teman-teman di acara Bandung Friendship. Setelah makan siang, tak lupa, aku dan teman-teman berfoto bersama untuk menambah kenang-kenangan kita selama di Bandung ini. Sebelum pulang, aku berpamitan dengan teman-teman dengan perasaan campur aduk, antara sedih karena akan berpisah, dan senang akan kembali ke rumah yang aku rindukan. Aku pun pulang. Namun dalam perjalanan, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku, yaitu “mengapa harus ada perpisahan dalam setiap pertemuan?”. Akupun merasa sedih dan sedikit marah, lalu akumerenung sejenak. Tak lama, Aku menemukan jawaban, bahwa hidup di dunia tidak akan ada yang abadi, sama halnya dengan pertemuan dan kebersamaan, semua itu tidak akan abadi, pasti akan ada perpisahan. Walau menyedihkan, perpisahan tak selalu berarti buruk, seperti Yesus yang harus berpisah dengan murid-muridnya demi menebus dosa manusia. Kesedihan sebagai dampak dari perpisahan adalah dampak sementara, namun bukan berarti kita harus melupakan semua yang telah kita lalui agar dampak itu cepat berlalu, sebaliknya, justru kita harus mengingatnya, agar saat ada pertemuan kembali, kita bisa mengingat kembali semua baik buruknya jalan yang kita lalui, hingga menjadi saudara seperti saat ini. Ya, saudara. Aku, kamu, menjadi kita, dan proses Bandung Friendship menjadikan kita saudara.