Leony Agustina Darmansius

Leony

Sama-sama kerja, bukan bekerjasama

Sekali kita bertemu secara online melalui google meet untuk mempersiapkan acara pembukaan di TSoM “Bandung Friendship.” Kita berempat (saya, Imelda dari Keuskupan Padang, Kk tita dari Keuskupan Sintang, dan Kk Catrine dari Keuskupan Tanjung Selor) berasal dari keuskupan yang berbeda, dengan latar belakang pendampingan yang tidak sama. Tugas yang diberikan kepada kami adalah 120 menit dinamika pembukaan untuk sesi perkenalan. Pertama yang terbersit dalam pemikiran adalah rasa cemas, karena belum pernah ikut TSoM nasional dan dipilih pada session pertama.

Perkenalan pertama dalam bentuk sharing pendampingan yang dibuat oleh masing-masing di paroki / keuskupan. Semuanya hampir sama, baik bentuk gerak dan lagunya. Pada saat penyusunan rancangan kegiatan dibuat dan disepakati bersama. Namun dalam proses finalisasi, komunikasi melalui WA maupun perjumpaan langsung di Bandung, rupanya berubah. Saat komunikasi melalui wa, kita merasa kurang yakin akan perencanaan yang telah dibuat. Ini muncul karena rasa kurang mengenal, komunikasi tidak nyambung, masing-masing masih sibuk dengan pekerjaan dan belum berkonsentrasi sepenuhnya. Kesulitan sederhana misalnya berkaitan dengan kesepakatan untuk tidak menggunakan musik yang masih tarik ulur hingga detik terakhir, pergantian rundown acara, kesepakatan lagu dan games yang dipersiapkan. Hasilnya, memang sesi perkenalan lebih mengarah pada masing-masing memperkenalkan diri, tanpa ada relasi yang terbangun diantara peserta dan pendamping itu sendiri.

Dugaan awal bahwa sulit mempersatukan ide dan gagasan dari masing-masing orang yang berbeda. Rasa kurang percaya pada kehadiran masing-masing anggota dalam tim. Ada kecenderungan untuk mendominasi dan lebih ingin menonjol dibanding yang lain. Ada rasa ingin mengurangi beban teman lain, tapi justru dianggap lebih bersifat egois. Ada kecenderungan untuk merubah kesepakatan tanpa komunikasi terlebih dahulu. Ada rasa segan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda.

Ketika acara mulai, komunikasi masih canggung, meskipun acara berjalan sebagaimana kita ikuti bersama. Seandainya perbedaan dari setiap keuskupan bisa direngkuh bersama dalam tim ini, tentu moment perkenalan tidak hanya sekedar tahu nama dan dari mana. Moment perkenalan bukan show off kehebatan masing-masing, melainkan saat dimana relasi dan empati itu ditumbuhkan dalam perjumpaan antar pribadi. Tidak semua teman-teman peserta dan pendamping memiliki keberanian dan ketrampilan yang sama untuk tampil. Saya berharap, tunas-tunas relasi sudah tercipta pada malam itu, melalui sesi perkenalan yang merengkuh berbagai perbedaan.

Percaya dan kerjasama. Itu yang saya baca dalam “Markus 2:1-5”, tentang orang lumpuh yang digotong oleh empat orang, menembus kerumunan dan gagal, lalu membongkar atap supaya dia yang sakit bisa disembuhkan oleh Yesus. Keempat orang yang menggotong itu percaya kepada Yesus, dan percaya kepada sesama rekannya. Seandainya satu saja tidak yakin dan percaya, tentu dia tidak bersedia bekerjasama mengangkat tilam itu. Hasilnya, orang lumpuh itu akan tetap lumpuh.

DOA; Ya Allah yang Terkasih, puji dan syukur aku panjatkan kepadaMu atas segala berkat dan penyertaanMu sepanjang kegiatan Bandung Friendship. Sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik, sekiranya melalui kegiatan saya dapat lebih memperbaharui diri lagi dan mampu belajar untuk mempercayai rekan seperjalanan saya. Semua doa ini aku serahkan ke dalam tanganMu, dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami. Amin.

Quotes: “Kita bukan team karena kerja bersama, kita team karena peduli, menghargai dan percaya satu sama lain”